Spiga

Senin, 13 Juli 2009

Sekolah Internasional: Antara Mutu Pendidikan dan Komoditas

Munculnya sekolah-sekolah yang berbau internasional belakangan merupakan konsekuensi dari kekecewaan masyarakat atas anjloknya mutu pendidikan di negeri ini. Mereka menginginkan anak-anaknya memperoleh pendidikan yang berkualitas walaupun dengan biaya yang sangat mahal sekalipun.
Desakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan pendidikan yang bermutu tersebut turut mengubah pandangannya menjadi pragmatis. Apabila menginginkan anaknya menjadi orang yang pandai dan masa depan yang bagus, maka harus dimasukkan ke sekolah dengan sederet ornamennya yang serba mahal.
Frame-frame pragmatis kemudian mendominasi alur berpikir para orang tua. Diharapkan ketika lulus nanti anaknya mampu mendapat pekerjaan yang bagus dan posisi yang strategis. Sehingga dapat memberi jaminan hidup lebih sejahtera dan meningkatkan status sosialnya di masyarakat. Sementara di sisi lain, jalan untuk meraih lapangan pekerjaan yang diharapkan semakin kompetitif dan terbatas.
Di masyarakat kita, gambaran akan sebuah sekolah yang berkualitas selalu diukur dengan adanya program-program unggulan yang memakan biaya puluhan juta. Asumsi yang terlanjur terbentuk, jika menginginkan pendidikan yang berkualitas maka haruslah mahal, sebaliknya apabila pendidikan tidak mau berkualitas maka tidak mahal.
Sungguh ironis kedengarannya. Di tengah negeri yang kaya akan nilai-nilai luhur budaya dan potensi-potensi kearifan lokal, justru malah mulai pudar identitas bangsanya. Inilah akibatnya jika sebuah bangsa telah dicekoki dengan berbagai embel-embel yang berbau modernisasi dan globalisasi. Bahwa, yang modern itu yang berkualitas. Maka mau tidak mau masyarakat Indonesia akan beramai-ramai mengarah dan memilih pada pendidikan yang berkualitas. Karena mereka tidak mau bersekolah pada sekolah yang tidak berkulaitas yang tidak menjamin masa depan yang cerah.
Hanya saja yang menjadi pertanyaan kemudian adalah, apakah itu sebuah keharusan sebagai prasyarat untuk terwujudnya mutu sebuah pendidikan? Apakah dengan biaya yang mahal kemudian dapat menjamin terciptanya mutu pendidikan? Dapatkah memprioritaskan faktor-faktor non-biaya untuk meningkatkan mutu pendidikan, sehingga faktor biaya tidak menjadi satu-satunya faktor yang paling menentukan.
Padahal, peningkatan mutu pendidikan itu diperoleh dari perpaduan dan sinergi antara komponen-komponen, seperti bagaimana metode yang digunakan, strategi, pemanfaatan fasilitas, tenaga pengajarnya serta kurikulum yang digunakan. Semua komponen itu saling kait-mengait dalam menciptakan mutu pendidikan. Artinya, dapatkah melaksanakan kebijakan pendidikan yang tidak terlalu mahal tetapi dapat mencapai mutu pendidikan?
Di sisi lain, fenomena maraknya sekolah internasional semakin meneguhkan bahwa sesungguhnya pendidikan merupakan salah satu lahan baru bagi komoditas perdagangan. Sebab, dengan dalih jaminan mutu pendidikan, pihak sekolah seolah bebas mematok harga sesuai dengan yang diinginkannya. Dan anehnya, sekolah-sekolah seperti itu yang lumayan laku “laris” di masyarakat. Mereka lebih tertarik dan percaya sepenuhnya dengan sekolah yang biayanya lumayan mahal.
Pada kenyataanya, begitu banyak sekolah, di Jakarta, Bandung, Surabaya, dan kota besar lain, yang menambah kata "internasional" sebagai "nilai jual" saat melakukan promosi dan akan menjaring calon siswa. Munculnya sekolah-sekolah yang kabarnya menggunakan standar internasional tersebut telah menarik uang masuk cukup besar untuk ukuran biaya pendidikan di Indonesia. Yaitu, mulai dari Rp 30 juta hingga Rp 60 juta dan uang sekolah Rp 1,5 juta hingga Rp 2 juta per bulan. Dengan nilai nominal yang lumayan besar tersebut ornamen pendidikan seperti apa yang diinginkan untuk meningkatkan kualitas pendidikan kalau tidak ada muatan bisnisnya.
Jika pendidikan yang sebelumnya merupakan aset dominan telah beralih menjadi wilayah komoditas atau lahan bisnis, maka dikhawatirkan akan melencengkan dari apa yang menjadi tujuan diselenggarakannya pendidikan di Indonesia. Sebab, persaingan yang kemudian terlihat adalah persaingan perdagangan. Semuanya diukur dan dikendalikan oleh kaca mata bisnis dan pasar. Lantas kalau sudah seperti itu di mana letak tanggung jawab pendidikan dalam pengemban misi mencerdaskan bangsa.
Lebih jauh lagi, jika pendidikan telah masuk dalam wilayah komoditas akan memunculkan persaingan baru antara negara maju dan negara berkembang. Negara maju yang telah memiliki modal yang besar kemudian beramai-ramai mendirikan sekolah internasional di Indonesia. Mereka juga mendirikan sekolah yang berkualitas lagi-lagi dengan biaya yang mahal. Karena semua itu untuk perdagangan dan bisnis. Gejala inilah yang mulai terlihat sekarang.
Maraknya sekolah-sekolah berstandar internasional di negeri ini di sisi lain memunculkan kekhawatiran. Jika keberadaanya tidak dapat di akses oleh seluruh lapisan masyarakat, dikhawatirkan justru malah mempertajam gap antara sekolah si miskin dan si kaya. Pendidikan yang ada malah memunculkan kelas-kelas dan kesenjangan baru dalam masyarakat. Karena sekolah internasional hanya dapat diakses oleh masyarakat high class.
Seperti hukum alam, tidak ada yang sempurna. Semua pasti mempunyai konsekuensi postif dan negatif. Asal jangan lengah saja. Dengan dalih “semua demi peningkatan mutu pendidikan”, sampai-sampai aspek negatif jauh ke depan kurang begitu diperhatikan. Ingat di sana mengadopsi kurikulum Barat yang dikhawatirkan akan menjauhkan peserta didik pada ranah budaya lokal.
Eksistensi sekolah-sekolah internasional yang semakin marak di negeri ini jika tidak disikapi secara cermat dan dengan pertimbangan sosio-kultural dicemaskan dapat mencerabutkan dunia pendidikan dari akar indentitas kebangsaanya. Lebih-lebih jika telah menjadi lahan komoditas. Maka tunggulah kehancuran dunia pendidikan di negeri ini.

Oleh: Agus Nur Cahyo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar