Spiga

Senin, 13 Juli 2009

Membentuk Karakter Pendidikan

Rancangan Undang-Undang tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP) telah resmi disahkan oleh DPR. Meski telah disahkan, undang-undang tersebut masih tetap menyisahkan polemik dan sejumlah kekawatiran di masyarakat. Kekawatiran yang paling nyata adalah RUU BHP dapat merangsang timbulnya karakter komersil dan elitis dalam institusi pendidikan.
Kekawatiran tersebut bukan tanpa alasan. Salah satu sumber kekawatiran yang menyebabkan perdebatan itu ialah ketidakyakinan bahwa pemerintah tetap akan berperan dalam persoalan pendidikan. Karena secara substansi, RUU BHP antara lain mengarahkan untuk melepaskan perguruan tinggi dari intervensi pemerintah. Nah kelak, perbedaan antara perguruan tinggi negeri dan perguruan tinggi swasta tidak ada lagi. Semuanya dikelola dalam sebuah model privatisasi.
Istilah privatisasi pasti kental dengan pendekatan modal. Privatisasi itu memang berangkat dari konsep liberalisme dan kapitalisme, di mana model pelayanan sudah membidik segmen tertentu demi perputaran modal. Tentu saja, jika pendekatan modal yang dikedepankan maka hasilnya dapat dipastikan lekat dengan transaksi untung dan rugi. Jika konsep ekonomi seperti itu yang dianut, maka dunia pendidikan dapat berubah menjadi barang komoditi yang siap untuk dikomersilkan kepada peserta didik.
Sebagai pranata yang lekat dengan hajat hidup sebuah bangsa, tidaklah pantas lembaga pendidikan berhitung-hitung dengan modal seperti layaknya lembaga bisnis. Di sisi lain, jika pemerintah memang bermaksud mengurangi perannya dalam pengelolaan pendidikan, maka muncul ketidakyakinan akan komitmen pemerintah untuk ikut membantu menanggung beban biaya pendidikan. Apalagi pemerintah seperti ‘mengeluh’ karena selama ini biaya operasional yang dikeluarkan untuk penyelenggaraan pendidikan tidaklah kecil.
Nah, jika institusi pendidikan memang dituntut untuk mandiri dan tidak lagi berpangku tangan pada subsidi pemerintah, maka logikanya, metode bisnis menjadi sebuah keharusan. Apalagi, BHP memberikan wewenang bagi institusi pendidikan untuk melakukan pengelolaan secara otonom. Dengan kata lain, BHP adalah badan hukum bagi penyelenggaraan atau satuan pendidikan formal, yang berfungsi memberikan pelayanan pendidikan kepada peserta didik, berprinsip nirlaba, dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan.
Nirlaba, yaitu prinsip kegiatan yang tujuan utamanya bukan mencari sisa lebih. Sehingga apabila timbul sisa lebih hasil usaha dari kegiatan BHP, maka seluruh sisa lebih hasil kegiatan tersebut harus ditanamkan kembali ke dalam BHP untuk meningkatkan kapasitas dan mutu layanan pendidikan. Hal inilah yang dikawatirkan akan menyulut praktik komersialisasi.
Misalnya, jika ada sisa lebih dari kegiatan BHP sangat mungkin digunakan untuk membangun unit bisnis baru guna menopang institusinya. Sehingga, yang terlihat adalah parktik-praktik bisnis dalam dunia pendidikan. Bahkan terbuka kemungkinan, seluruh aset dan fasilitas yang dimiliki oleh institusi pendidikan juga dikelola dan dimanfaatkan untuk mencari keuntungan karena otonomi tadi.
Di samping membentuk karakter komersialisasi, BHP juga dapat mendorong isntitusi pendidikan menjadi elitis. BHP yang semestinya ditujukan untuk meningkatkan pelayanan pendidikan kepada masyarakat justru malah membatasinya. Ini sungguh ironis. Karena, model yang ada dalam RUU BHP malah mempersempit ruang bagi seluruh warga Negara untuk mengenyam layanan pendidikan.
Apalagi jika kebijakan pengelolaan keuangan kampus malah memberatkan mahasiswa. Maka konsekuensinya, kampus hanya bisa diakses oleh mahasiswa kaya, sedangkan yang miskin kian tersisih. Pendidikan yang ada malah memunculkan kelas-kelas dan kesenjangan baru dalam masyarakat. Karena kampus hanya dapat diakses oleh masyarakat high class.
Apa yang terjadi pada Badan Hukum Milik Negara (BHMN) yang telah diterapkan di empat Perguruan Tinggi Negeri (PTN), yakni, UI, ITB, UGM, dan IPB adalah contoh nyata. Pemerintah ingin mengurangi dana pendidikan yang tinggi, kemudian mereka membuat BHP, sehingga PTN harus mencari dana sendiri. Akibatnya, SPP melonjak naik. Jelas, hal itu merugikan masyarakat kecil.
Padahal pendidikan merupakan hak setiap warga Negara untuk meningkatkan mutu dan martabat sebuah bangsa. Jika pendidikan yang sebelumnya merupakan aset dominan telah beralih menjadi wilayah komoditas dan elitis, maka ini merupakan ancaman pemelencengan serius dari tujuan diselenggarakannya pendidikan nasional. Yakni, mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya.
Oleh: Agus Nur Cahyo, Dewan Redaksi LPM Rhetor serta mahasiswa Fakultas Dakwah UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar