Spiga

Senin, 13 Juli 2009

Sekolah Internasional: Antara Mutu Pendidikan dan Komoditas

Munculnya sekolah-sekolah yang berbau internasional belakangan merupakan konsekuensi dari kekecewaan masyarakat atas anjloknya mutu pendidikan di negeri ini. Mereka menginginkan anak-anaknya memperoleh pendidikan yang berkualitas walaupun dengan biaya yang sangat mahal sekalipun.
Desakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan pendidikan yang bermutu tersebut turut mengubah pandangannya menjadi pragmatis. Apabila menginginkan anaknya menjadi orang yang pandai dan masa depan yang bagus, maka harus dimasukkan ke sekolah dengan sederet ornamennya yang serba mahal.
Frame-frame pragmatis kemudian mendominasi alur berpikir para orang tua. Diharapkan ketika lulus nanti anaknya mampu mendapat pekerjaan yang bagus dan posisi yang strategis. Sehingga dapat memberi jaminan hidup lebih sejahtera dan meningkatkan status sosialnya di masyarakat. Sementara di sisi lain, jalan untuk meraih lapangan pekerjaan yang diharapkan semakin kompetitif dan terbatas.
Di masyarakat kita, gambaran akan sebuah sekolah yang berkualitas selalu diukur dengan adanya program-program unggulan yang memakan biaya puluhan juta. Asumsi yang terlanjur terbentuk, jika menginginkan pendidikan yang berkualitas maka haruslah mahal, sebaliknya apabila pendidikan tidak mau berkualitas maka tidak mahal.
Sungguh ironis kedengarannya. Di tengah negeri yang kaya akan nilai-nilai luhur budaya dan potensi-potensi kearifan lokal, justru malah mulai pudar identitas bangsanya. Inilah akibatnya jika sebuah bangsa telah dicekoki dengan berbagai embel-embel yang berbau modernisasi dan globalisasi. Bahwa, yang modern itu yang berkualitas. Maka mau tidak mau masyarakat Indonesia akan beramai-ramai mengarah dan memilih pada pendidikan yang berkualitas. Karena mereka tidak mau bersekolah pada sekolah yang tidak berkulaitas yang tidak menjamin masa depan yang cerah.
Hanya saja yang menjadi pertanyaan kemudian adalah, apakah itu sebuah keharusan sebagai prasyarat untuk terwujudnya mutu sebuah pendidikan? Apakah dengan biaya yang mahal kemudian dapat menjamin terciptanya mutu pendidikan? Dapatkah memprioritaskan faktor-faktor non-biaya untuk meningkatkan mutu pendidikan, sehingga faktor biaya tidak menjadi satu-satunya faktor yang paling menentukan.
Padahal, peningkatan mutu pendidikan itu diperoleh dari perpaduan dan sinergi antara komponen-komponen, seperti bagaimana metode yang digunakan, strategi, pemanfaatan fasilitas, tenaga pengajarnya serta kurikulum yang digunakan. Semua komponen itu saling kait-mengait dalam menciptakan mutu pendidikan. Artinya, dapatkah melaksanakan kebijakan pendidikan yang tidak terlalu mahal tetapi dapat mencapai mutu pendidikan?
Di sisi lain, fenomena maraknya sekolah internasional semakin meneguhkan bahwa sesungguhnya pendidikan merupakan salah satu lahan baru bagi komoditas perdagangan. Sebab, dengan dalih jaminan mutu pendidikan, pihak sekolah seolah bebas mematok harga sesuai dengan yang diinginkannya. Dan anehnya, sekolah-sekolah seperti itu yang lumayan laku “laris” di masyarakat. Mereka lebih tertarik dan percaya sepenuhnya dengan sekolah yang biayanya lumayan mahal.
Pada kenyataanya, begitu banyak sekolah, di Jakarta, Bandung, Surabaya, dan kota besar lain, yang menambah kata "internasional" sebagai "nilai jual" saat melakukan promosi dan akan menjaring calon siswa. Munculnya sekolah-sekolah yang kabarnya menggunakan standar internasional tersebut telah menarik uang masuk cukup besar untuk ukuran biaya pendidikan di Indonesia. Yaitu, mulai dari Rp 30 juta hingga Rp 60 juta dan uang sekolah Rp 1,5 juta hingga Rp 2 juta per bulan. Dengan nilai nominal yang lumayan besar tersebut ornamen pendidikan seperti apa yang diinginkan untuk meningkatkan kualitas pendidikan kalau tidak ada muatan bisnisnya.
Jika pendidikan yang sebelumnya merupakan aset dominan telah beralih menjadi wilayah komoditas atau lahan bisnis, maka dikhawatirkan akan melencengkan dari apa yang menjadi tujuan diselenggarakannya pendidikan di Indonesia. Sebab, persaingan yang kemudian terlihat adalah persaingan perdagangan. Semuanya diukur dan dikendalikan oleh kaca mata bisnis dan pasar. Lantas kalau sudah seperti itu di mana letak tanggung jawab pendidikan dalam pengemban misi mencerdaskan bangsa.
Lebih jauh lagi, jika pendidikan telah masuk dalam wilayah komoditas akan memunculkan persaingan baru antara negara maju dan negara berkembang. Negara maju yang telah memiliki modal yang besar kemudian beramai-ramai mendirikan sekolah internasional di Indonesia. Mereka juga mendirikan sekolah yang berkualitas lagi-lagi dengan biaya yang mahal. Karena semua itu untuk perdagangan dan bisnis. Gejala inilah yang mulai terlihat sekarang.
Maraknya sekolah-sekolah berstandar internasional di negeri ini di sisi lain memunculkan kekhawatiran. Jika keberadaanya tidak dapat di akses oleh seluruh lapisan masyarakat, dikhawatirkan justru malah mempertajam gap antara sekolah si miskin dan si kaya. Pendidikan yang ada malah memunculkan kelas-kelas dan kesenjangan baru dalam masyarakat. Karena sekolah internasional hanya dapat diakses oleh masyarakat high class.
Seperti hukum alam, tidak ada yang sempurna. Semua pasti mempunyai konsekuensi postif dan negatif. Asal jangan lengah saja. Dengan dalih “semua demi peningkatan mutu pendidikan”, sampai-sampai aspek negatif jauh ke depan kurang begitu diperhatikan. Ingat di sana mengadopsi kurikulum Barat yang dikhawatirkan akan menjauhkan peserta didik pada ranah budaya lokal.
Eksistensi sekolah-sekolah internasional yang semakin marak di negeri ini jika tidak disikapi secara cermat dan dengan pertimbangan sosio-kultural dicemaskan dapat mencerabutkan dunia pendidikan dari akar indentitas kebangsaanya. Lebih-lebih jika telah menjadi lahan komoditas. Maka tunggulah kehancuran dunia pendidikan di negeri ini.

Oleh: Agus Nur Cahyo

Mendidik Anak Di Tengah Era Globalisasi

Perkembangan arus Globalisasi saat ini semakin gencarnya. Berbagai dampak yang ditimbulkannya semakin tak terhitung dan tak terkendalikan. Salah satu contoh dampak yang ditimbulkannya adalah terjadinya pergeseran perilaku atau moral anak-anak yang begitu cepat. Banyak kasus-kasus penyimpangan terjadi, seperti kenakalan remaja dan perilaku-perilaku lain yang melanceng dari nilai-nilai agama cukup meningkat.
Kasus-kasus penyimpangan anak tersebut sesungguhnya tidak bisa lepaskan a dari kondisi lingkungan yang menginginkan remaja melakukan hal tersebut. Walau penelitian secara khusus bagaimana dampak perkembangan media massa (Audio visual) saat ini belum menemukan nilai yang pasti, namun kenyatannya dalam kehidupan sehari-hari, pengaruh media sangat tampak pada usia anak.Berbagai tayangan yang selalu disuguhkan kepada kita banyak yang mengajarkan perilaku yang sesungguhnya tidak sesuai dengan ajaran perilaku atau moral agama islam. Lalu, bagaimana jika tayangan yang seperti itu tersuguhkan oleh anak-anak kita. Bukan tidak mungkin mereka lalu menyerap dan menirunya mentah-mentah. Hal itulah yang selalu dikhawatirkan oleh para orang tua kita.
Lebih parahnya lagi, anak-anak kita terkadang lebih mendengarkan nasihat film-film dari pada nasehat orang tuanya sendiri. Mereka lebih suka berada di hadapan TV dari pada duduk bersila mendengarkan Ustadz ngaji menguraikan nilai-nilai agama. Bahkan mereka lebih hafal Film-film dan tokoh-tokoh pemerannya dari pada tokoh-tokoh dalam islam, seperti Nabi Muhammad Saw. Sehingga setiap perilakunya hampir mencerminkan dan menirukan tokoh yang dianggap pahlawannhya. Dan nabi Muhammad sebagai suri tauladan yang baik semakin tidak dikenalnya. Kalau sudah seperti itu siapakah yang patut dipersalahkan.
Oleh sebab itulah, tantangan kita di era globalisasi saat ini cukup besar. Nilai-nilai agama yang harus ditanamkan kepada generasi anak-anak kita terasa semakin berat. Maka diperlukan usaha yang keras juga. Pertama, Menanamkan nilai-nilai agam kepada anak-anak kita sejak dini. Nilai-nilai Aqidah, Ibadah, dan Ahlak harus ditanamkan sejak dini kepada anak-anak kita dengan cara memberikan ilmu pengetahuan. Tidak kalah pentingnya, membiasakan mereka sejak dini untuk melekukan aktivas-aktivitas yang bernuansa Islami.
Kedua, menanamkan akan pentingnya ilmu pengetahuan dalam kehidupan. Dengan gencarnya pengaruh media-media tersebut, pengembangan dan penyerapan ilmu pengetahuan, bisa menjadi terhambat. Maka sangat penting dilakukan sejak dini. Membudayakan tumbuhnya perpustakaan-perpustakaan keluarga. Sehingga minat untuk mendalami ilmu pengetahuan semakin tertanam.
Ketiga, menanamkan kedisplinan waktu. Ini adalah penting bagi anak-anak kita sebab sebagi bekal kehidupannya kelak. Sehingga dengan kedisiplinan yang sudah tertanam itu, nantinya akan terwujud manusia yang berkualitas, yaitu manusia yang dapat mempergunakan waktu yang sebaik-baiknya. Setiap waktu yang ada dipergunakan untuk berbuat kebaikan dan mencari ridho Allah.
Keempat, menanamkan kemandirian sejak dini. Hidup di Era Globalisasi dan Informasi diperlukan semacam kemandirian tertentu. Maka sejak dini anak-anak kita dilatih untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Mereka nanti dimungkinkan untuk tidak selalu tergantung kepada orang lain. Menanamkan rasa optimisme yang tinggi. Harapan yang tumbuh kemudian adalah agar pada saat mereka terjun ke dalam masyarakat dapat menghadapi segala persoalan kehidupan yang ada. Sehingga pengendalian diri yang baik sudah dimilikinya.
Pendidikan seperti itulah yang harus dilakukan di tengah Era Globalisasi saat ini. Intinya, pendidikan anak-anak tertujukan agar mereka memiliki penghayatan dan pengamalan nilai-nilai agama sekuat mungkin. Dan dapat mempergunakan ilmu pengetahuan sesuai dengan nilai-nilai agama yang dianutnya. Bukan kemudian ia di perbudak oleh pengetahuan itu sendiri.

Menghadapi Koruptor dengan Peti Mati

Persoalan korupsi di Indonesia merupakan penyakit lama yang sulit untuk diberantas. Parktik-praktik korupsi yang merupakan warisan orde baru itu justru semakin tumbuh subur.
Persoalannya bukan tidak ada undang-undang resmi atau badan hukum yang berwenang memberantasnya, tetapi ketika semua itu dihadapkan pada kondisi real di lapangan tiba-tiba tidak berdaya menghadapinya. Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) selama ini memang telah melakukan tindakan hukum terhadap beberapa pejabat yang melakukan praktik korupsi. Bila melihat realitas yang ada, dari sekian kasus-kasus korupsi yang telah dituntaskan ternyata masih lebih banyak yang belum tertangani. Koruptor-koroptur di negeri ini masih bebas melenggang ke sana ke mari tanpa ada hukum yang menjeratnya.
Hal tersebut tidak lain karena perlawan yang dihadapai sangatlah berat. Koruptor-koruptor kakap tersebut lumayan cerdik. Mereka mempunyai seribu macam cara agar dirinya tidak kelihatan sedang korupsi. Uang adalah kekuatan utama sebagai selimut untuk menutupi tindak kejahatannya.
Dengan kekuatan uang yang dimiliki, mereka selalu berlindung di balik hukum. Bahkan, mereka dapat membayar pengacara-pengacara kelas kakap miliaran untuk membuat dirinya terhindar dari ancaman hukum. Apalagi koruptor tersebut me-mark up dirinya dengan melakukan tindakan peduli sosial melalui hasil korupsinya atau biasa disebut dengan “penyucian uang”. Hal ini membuat para koruptor laksana belut yang sukar untuk ditangkap.
Upaya penegakan hukum dan juga pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh pemerintah melalui KPK memang masih banyak menemui kendala. Di samping para pelakunya yang cerdik berlindung di balik hukum, juga para penegaknya yang masih kelihatan “canggung” dalam menjalankannya. Pemerintah masih terkesan belum berani dan tegas dalam menindak para koruptor di negeri ini.
Belum lagi ditambah dengan banyaknya kerikil di sana-sini yang menghadang tugasnya. Aturan-aturan hukum yang ada bolehlah lengkap dan menghardik. Namun, ketika tidak bisa diterapkan, semua itu tidaklah memiliki arti apa-apa.
Belajar “Resep” dari Tiongkok
Sebenarnya, semua itu tidak akan menjadi masalah utama jika memang pemerintah secara tegas dan berani menindak para koruptor, bukan hanya sekedar wacana. Setidaknya rencana dan komitmen dalam memberantas korupsi telah dicontohkan resepnya oleh tetangga kita, yaitu Tiongkok. Negara tersebut sekarang sudah dapat melepaskan diri dari belenggu korupsi yang telah menjerat bertahun-tahun lamanya.
Pada tahun 1998 Tiongkok menghadapi penyakit besar dalam pemerintahan, yaitu korupsi. Sehingga memaksa menteri Zhu Rongjie pada waktu itu, memprioritaskan pemerintahannya adalah melibas korupsi.
Hasilnya pun lumayan optimal, sejak tahun 2001, sudah lebih kurang empat ribu orang ditembaki di depan umum karena korupsi. Bahkan selama kuartal pertama tahun 2003 lalu, 33.761 polisi dipecat. Mereka dipecat mulai dari menerima suap, mabuk-mabukan, berjudi dan membawa senjata api di luar tugas mereka, serta kualitas di bawah standar.
Pemerintah Tiongkok memang tegas dan berani dalam mengambil langkah memberantas korupsi. Dalam menegakkan hukum tidak peduli siapa pelakunya. Siapapun orangnya yang salah langsung di hadapkan kepada hukum. Bahkan, hukuman mati pun tidak ragu-ragu dijalankan. Lalu bagaimana dengan pemberantasan korupsi di Indonesia?
Jika Indonesia adalah Tiongkok, maka semua koruptor-koruptor pasti akan “merinding” dan takut. Berapa banyak peti mayat yang disediakan jika semua koruptor di negeri ini dihukum mati? Mungkin sekarang bangsa ini sudah terbebas dari julukan “Negeri Para Koruptor”. Sayang, Indonesia bukanlah Tiongkok!
Pemerintah bangsa ini masih terkesan “takut” menghadiahi para koruptor dengan sebuah “peti mati”. Padahal korupsi di negeri ini telah menjadi penyakit akut yang menggerogoti hampir seluruh aspek kehidupan.
Pemerintah negeri ini seperti kehabisan mental dan daya dalam memerangi tindak Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Selalu ada alasan-alasan atau halangan yang sifatnya kultural.
Ketika praktek korupsi sudah semakin menyesakkan dada dan sudah sampai pada puncak batas kesabaran, maka tidak ada toleransi hukuman lain kecuali mati!. Dor…!, Adalah satu-satunya hukuman yang patut dijalankan jika ingin bangsa ini terbebas dari jeratan korupsi. Tetapi sekali lagi sayang, Indonesia bukanlah Tiongkoka
Oleh: Agus Nur Cahyo

Ramadan, Ajang Penyucian dan Melejitkan Spiritualitas

Ramadan adalah sebuha kerinduan. Kehadirannya selalu menempati posisi pengharapan yang besar di benak umat Islam. Kita bisa saksikan, setiap kali berada di penghujung Ramadan, doa yang terpanjatkan umumnya adalah sama. “Semoga kita diberi kesempatan dapat berjumpa dengan Ramadan berikutnya”. Bagi umat Islam, Ramadan ialah momen yang utama sebagai ajang peleburan dosa-dosa, meningkatkan keimanan dan pencapaian derajat takwa.
Saat ini, momen yang dirindukan itu telah dating. Ramadan, bulan yang penuh muatan inspirator dan motivator umat itu kini mulai kita jalani. Diiringi dengan raut berseri dan penuh harap terpancar dari wajah-wajah kaum muslimin. Sebab, inilah tempat yang utama untuk berhijrah dari segala bentuk belenggu dunia menuju penyucian jiwa yang cemerlang.
Ramadan, bagi seorang muslim ialah sebentuk bulan suci yang khusus dianugerahkan Tuhan kepada umat Muhammad SAW. sebagai pengkal segala pengharapan. Pada bulan ini semua ibdah dilipat gandakan, pintu ampunan dibuka lebar-lebar, dan rahmat serta hidayah Tuhan dilimpah-ruahkan. Maka pantaslah jika klemudian kaum muslimin banyak menaruh pengharapan terbesar di bulan ini.
Biasanya, awal-awal Ramadan merupakan waktu yang mengandung makna signifikan untuk dijadikan pijakan awal dalam memulai langkah. Momen memulia (niat) kalau tidak secara komitmen dan sungguh-sungguh ditata sejak awal, kecil kemungkinan kita dapat melaksanakan ibadah Ramadan secara sempurna. Karena kuat tidaknya niat dapat menjadi tolak ukur untuk menilai kesiapan individu dalam melaksanakan ibdah puasa.
Maka dari itu, ajang menata niat menjadi salah satu pokok penting dalam melaksanakan ibadah di bulan suci Ramadan. Caranya dengan memperbaiki niat dengan penuh ksesediaan, keikhlasan, serta memantapkan hati dan jiwa dalam menggapai kemuliaan puasa menuju tingkatan taqwa. Puasa Ramadan menjadi strating point proses penyadaran hati nurani dan penyucian jiwa dari belenggu-belenggu yang menutupi sifat-sifat ketuhanan dalam diri kita.
Penyucian jiwa
Secara substansial, puasa bukan saja mengekang diri dari makan dan minum di siang hari, tetapi yang paling penting ialah upaya pengekangan diri dari segala bentuk unsure-unsur keberingasan kemanusiaan (belenggu jiwa). Hal ini merupakan langkah pertama dalam memasuki level utama selanjutnya. Yakni, mengangkat kekelaman batin dan menyinarinya dengan sinar-sinar malakuti (ketuhanan). Sehingga, sifat-sifat ketuhanan tersebut dapat termanifestasikan kea rah praksis dengan bentuk perilaku dan akhlak yang luhur.
Kalau kita dalami, jiwa dan hati nurani manusia secara keseluruhan memiliki unsure-unsur kemanusiaan yang sejatinya merupakan jelamaan dari sifat-sifat ketuhanan. Ada nilai-nilai kasih saying, keadilan, kejujuran serta nilai-nilai kemanusiaan lainnya yang terdapat dalam hati nurani dan tabiat kemanusiaan yang hakiki.
Namun, unsure-unsur fitrah manusia itu seringkali terbelenggu dengan sifat-sifat negatif (nafsu) diri manusia. Sifat tersebut menjadi hijab terpancarnya sifat-sifat ketuhanan dari hati ke alam ke jiwaan hingga tak terlihat sama sekali.
Mengapa bisa terjadi demikian, karena jiwa manusia masih dihuni dan dipengaruhi oleh berbagai belenggu. Diantaranya, ada hasratnegatif, subyektifitas emosional yang destruktif, prasangka-prasangka negative dan yang sejenisnya. Sehingga pancaran cahaya melakuti tak dapat bersinar di akibatkan jiwanya telah di kendalikan oleh belenggu tersebut. Karena itu, bulan Ramadhan merupakan kesempatan bagi umatislam untuk ‘membakar’ belenggu-belenggu tersebut menuju penyucian jiwa secara total (fitrahnya).
Ketika ruang jiwa manusia telah terbebas dari belenggu-belenggu tersebut, maka secara sendirinya pancaran cahaya dapat tersibak dan mengambil peranya. Kepekaan hati nurani dan kemanusiaan dalam diri manusia kemudian terdongkrak. Efek puasa dapat mengalir dari level individu ke ranah social. Dengan kata lain, metaforfosis rohani ini akan berdampak pada peningkatan kualitas penghayatan individu terhadap universitas nilai- nilai kemanusiaan.
Proses inilah yang menjadi pokok penyucian jiwa dalam ibadah puasa. Sebuah rangkaian proses tajalli Illahi (pengejawantahan nilai-nilai ketuhanan) dan kemanusian dalam ranah praktis. Ada niali kejujuran bermasssyarakat, kasih saying, empati, kesdilan serta yang lainya.
Melejitkan Spritual
Puasa bukan saja sebagai ajang penyucian jiwa, melainkan estafet dari proses selanjutnya. Yakni sebagai ajang untuk melejitkan nilai-nilai spiritualitas. Ketika penyucian jiwa telah dijalani maka proses berikutnya ialah menyamai kilau-kemilau cahaya Ilahi dalam hati. Menjadi individu yang arkab al-qulub (orang-orang yang telah tercerahkan hati nuraninya) menuju makan taqwa sebagai tujuab puncaknya.
Dalam hal ini, puasa mamiliki makna signifakan bagi terciptanya insane muttqin. Ahmad nadjib Burhani dalam bukunya Islam Dinamis memaknain hal ini sebagai proses kesempurnan jiwa dan ruh. Yaitu, puasa jika dilaksanakan secara kamil (sempurna) pasti akan mewujudekan kesempurnaan khudu’ dan kesempurnaan ta;dhiem, menjauhi diri dari fakhsya’ (kekejian) serta menanamkan dalam jiwanya cinta mesra kepada kebajikan.
Sehingga tadak heran ji9ka dalam menjalankan ibadah puasa, kita sering menemiui orang yang amalan puasa secara tekun namun tidak mamiliki implikasi sama sekali dalam kehidupanya. Tidak merasakan sentuhan-sentuhjan jiwa dan ruh dari belaian-belaian lembut melakuti ketika melaksanakan ibadah puasa. Lebih-lebih jika tidak merasakan kedekatanya dengan Tuhan. Orang seperti ini tidak mamiliki kepekaan rasa spritualitas diakibatka telah mati hatinya.
Untuk itu, marilah kita siapkan lagi secara matang kondisi fisik dan psikis dalam malaksakan segala bentuk ibadah di bulan yang suci ini. Letakkan penghargaan yang sebesar-besarnya, dfengan disertai niat yang tulus dan komitmen agarRamadhan dapat memberi perubahn yang fundamental kea rah yang muttaqin. Jika tidak, Ramadhan kali ini hanyasebatas ritual tahunan dan berlalu begitu saja tanpa ada pengaruh positifnya. Atau sama dengan tahun-tahun yangb lalu.

Oleh: Agus Nur Cahyo.


Menelusuri Gerakan Ahmadiyah Di Indonesia

Beberapa waktu lalu, gerakan Ahmadiyah tiba-tiba menjadi bahan perbincangan banyak pihak, terutama umat islam. Banyak media massa yang kemudian menyoroti tentang gerakan keagamaan yang satu ini. Keberadaannya menuai pro dan kontra oleh masyarakat muslim dalam perkembangan gerakan islam secara keseluruhan. Beberapa konsep doktrinnya berlawanan dari pendapat doktriner sebagian besar kaum muslimin di indonsia. Sehingga tak ayal keberadaanya pun dicekal oleh sebagian besar kaum muslimin. Sampai-sampai MUI (Majelis Ulama’ Indonesia) melarang gerakan Ahmadiyah. Karena dianggap menyesatkan, maka gerakan Ahmadiyah akhirnya menuai tindak kekerasan. Entah kekerasan wacana ataupun kekerasan struktural, bahkan fisik.
Melalui buku Gerakan Ahmadiyah Di Indonesia ini, Iskandar Zulkarnain mencoba menyikap keberadaan gerakan Ahmadiyah di tanah air yang belakangan ini menuai kontroversi. Sejak dari latar belakang historis lahirnya, pendirinya, doktrin agamanya dan pergulatannya dengan situasi politik, sosial-ekonomi di India saat itu dalam masa pengembangannya, sampai pada proses penyebaran dan perkembangannya di Indonesia dewasa ini.
Ahmadiyah sebagai sebuah gerakan keagamaan lahir di India pada akhir abad ke-19, dengan latar belakang kemunduran umat islam India di bidang agama, politik, ekonomi, sosial dan bidang kehidupan lainnya terutama setelah pecahnya revolusi India tahun 1857. Adalah Mirza Ghulam Ahmad sebagai pendiri gerakan ini. Ia lahir pada tanggal 13 Februari 1835 di desa Qodian Punjab, India.
Nama Ahmadiyah sebenarnya bukan diambil dari nama pendirinya, melainkan diambil dari salah satu nama Rosulullah. Nama itu diambil dari surat Ass-Shaff ayat 6 yang isinya memuat informasi nabi Isa a.s. kepada Bani Israil bahwa sesudahnya nanti akan datang seorang nabi yang bernama Ahmad. Mirza Ghulam Ahmad sendiri kemudian mengklaim nama itu untuk menunjuk kepada dirinya yang diutus oleh tuhan untuk menunaikan tugas kemahdiannya. (hal. 66)
Gerakan Ahmadiyah ini kemudian terbagi menjadi dua aliran, yaitu aliran Lahore dan Qodian. Mereka umumnya berbeda terhadap keberadaan Mirza Ghulam Ahmad. Aliran Ahmadiyah Qodian mengakui bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah nabi setelah rosulullah yang dinanti-nantikan kedatangannya. Sedangkan Aliran Ahmadiyah lahore beranggapan bahwa pintu kenabian telah tertutup setelah rosulullah. Dan Mirza Ghulam Ahmad bukanlah nabi, melainkan seorang mujaddid.
Dalam masa penyebarannya, Ahmadiyah yang berkembang di Indonesia ternyata bukan hanya aliran Qodian saja, melainkan juga Lahore. Gerakan keagamaan ini diperkenalkan ke Indonesia pada abad ke-20, yaitu tahun 1924 untuk Lahore dan 1925 untuk Qodian. Proses penyebarannya melalui para pelajar Indonesia yang belajar agama di India. Mereka yang belajar di sana kemudian mengirimkan surat tentang keberadaan gerakan itu kepada orang-orang islam di Indonesia. Baru setelah merampungkan belajarnya, mereka pulang ke tanah air untuk mengajarkan ajaran Ahmadiyah.
Gerakan Ahmadiyah mempunyai doktrin agama yang belakangan ini banyak memunculkan kontroversi di kalangan muslim Indonesia. Ajaran tersebut adalah tentang al- Mahdi, al- Masih, kenabian, wahyu dan jihad. Doktrin yang dianggap paling kontroversial ialah, Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi, al-Masih dan al-Mahdi. Ajaran ini sangat berbeda dengan mayoritas umat islam di Indonesia, baik NU, Muhammadiyah, Persis dan lainnya. Sampai sekarang Ahmadiyah tetap eksis di Indonesia walaupun pendukungnya tidak sebanyak golongan di atas.
Buku ini mengungkap secara objektif Ahmadiyah sebagai pemikiran dan gerakan dalam konteks perkembangan gerakan islam di Indonesia secara keseluruhan. Buku ini juga mencoba mendeskripsikan proses-proses dan kenyataan Ahmadiyah sebagai pemikiran dan gerakan, sekaligus reaksi organisasi-organisasi islam lain terhadap Ahmadiyah.
Sejatipun buku ini merupakan hasil penelitian dan reproduksi disertasi, dengan penyajian dalam bahasa yang mudah dipahami, ringkas, jelas sekaligus sistematis. Sebagaimana karya ilmiah, buku ini bukan dimaksudkan untuk mendukung atau menolak pihak-pihak yang pro dan kontra, melainkan mendudukkan secara proporsional pemikiran dan gerakan Ahmadiyah di dalam peta pemikiran dan gerakan keislaman di Indonesia pada umumnya.
Kehadiran buku ini semakin memperkaya akan pemikiran dan gerakan keislaman di Indonesia, sekaligus memperkaya kazanah keilmuan sejarah. Dengan lengkap mengungkap gerakan Ahmadiyah di Indonesia, terutama dari sudut pandang sejarah. Buku ini cocok dikonsumsi oleh siapa saja yang ingin banyak mengetahui tentang gerakan dan pemikiran Ahmadiyah di Indonesia.

Oleh: Agus Nur Cahyo, Staf Redaksi LPM Rhetor UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

Mandiri atau Komersil

Tuntutan adanya unit usaha kampus memang menjadi wacana yang menarik di setiap Perguruan Tinggi belakangan ini. Baik PT swasta maupun yang negeri. Bagi PT swasta, hal ini memang telah menjadi tuntutan dasarnya jika ingin tetap “hidup”. Sementara bagi yang negeri, merupakan tuntutan dari pemerintah agar mandiri dan tidak hanya berpangku tangan pada subsidi pemerintah. Dengan alasan, biaya operasional yang dikeluarkan pemerintah untuk penyelenggaraan pendidikan terbilang besar.
Mau tidak mau PT harus menerapkan logika bisnis agar dapat menghasilkan income yang bisa mencukupi kebutuhannya sendiri. Atau paling tidak membantu mengurangi biaya operasionalnya. Nah, Salah satu cara yang rasional adalah dengan membentuk usaha unit kampus. Yakni dengan mengkomersilkan aset-aset kampus yang memiliki nilai bisnis. Sehingga bisa dijadikan sebagai provit center. Yaitu, aset yang memiliki nilai bisnis tinggi sehingga dapat dijadiikan sebagai laba utama.
Aset-aset kampus itu bisa berupa penyewaan gedung, aula, perpustakaan, layanan internet dan yang lainnya. Dengan logika bisnis, semua fasilitas yang ada di kampus berubah menjadi barang komoditi yang siap untuk “dijual”. Hitungan matematiknya bukan lagi bagaimana fasilitas itu digunakan untuk menunjang pendidikan, melainkan bagaimana penggunaan fasilitas pendidakan itu agar dapat menghasilkan provit.
Memang, tuntutan untuk membangun unit bisnis di kampus itu menurut saya bagus untuk menanamkan kemandirian. Baik bagi PT itu sendiri maupun sebagai bahan pembelajaran bagi para mahasiswanya tentang entrepreneurship. Apalagi dengan maksud untuk menekan biaya kuliah. Misalnya begini, kampus memiliki beberapa unit aset yang memiliki nilai bisnis tinggi (provit center).
Nah dari adanya aset yang menjadi provit center itu, pihak kampus mempunyai unit bisnis yang dapat dijadikan andalan utama dalam memasok income yang besar. Misalnya penyewaan gedung serbaguna. Hasil dari penyewaan tersebut kemudian dapat digunakan untuk menekan biaya kuliah dan operasional lainnya. Sementara pemasukan dari unit lain dapat dijadikan “tabungan” atau modal bisnis baru. Serhingga asumsinya, kuliah bisa menjadi lebih murah.
Namun perlu diingat, konsekuensi adanya bisnis kampus ialah dapat merangsang komersialisasi dalam dunia pendidikan. Karena pendekatan yang digunakan adalah bisnis, maka untung dan rugi jadi ukurannya. Jika sudah demikian, aset pendidikan dapat berubah menjadi barang komoditi yang siap untuk dikomersilakan pada peserta didik.
Pendidikan sebagai aset dominan yang lekat dengan hajat hidup sebuah bangsa, tidaklah pantas berlaku layaknya lembaga bisnis. Karena pendidikan mempunyai tujuan mulia, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.

Oleh: Raodatul Jannah, Mahasiswa Jurusan Biologi Fakultas Saintek, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.



Membentuk Karakter Pendidikan

Rancangan Undang-Undang tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP) telah resmi disahkan oleh DPR. Meski telah disahkan, undang-undang tersebut masih tetap menyisahkan polemik dan sejumlah kekawatiran di masyarakat. Kekawatiran yang paling nyata adalah RUU BHP dapat merangsang timbulnya karakter komersil dan elitis dalam institusi pendidikan.
Kekawatiran tersebut bukan tanpa alasan. Salah satu sumber kekawatiran yang menyebabkan perdebatan itu ialah ketidakyakinan bahwa pemerintah tetap akan berperan dalam persoalan pendidikan. Karena secara substansi, RUU BHP antara lain mengarahkan untuk melepaskan perguruan tinggi dari intervensi pemerintah. Nah kelak, perbedaan antara perguruan tinggi negeri dan perguruan tinggi swasta tidak ada lagi. Semuanya dikelola dalam sebuah model privatisasi.
Istilah privatisasi pasti kental dengan pendekatan modal. Privatisasi itu memang berangkat dari konsep liberalisme dan kapitalisme, di mana model pelayanan sudah membidik segmen tertentu demi perputaran modal. Tentu saja, jika pendekatan modal yang dikedepankan maka hasilnya dapat dipastikan lekat dengan transaksi untung dan rugi. Jika konsep ekonomi seperti itu yang dianut, maka dunia pendidikan dapat berubah menjadi barang komoditi yang siap untuk dikomersilkan kepada peserta didik.
Sebagai pranata yang lekat dengan hajat hidup sebuah bangsa, tidaklah pantas lembaga pendidikan berhitung-hitung dengan modal seperti layaknya lembaga bisnis. Di sisi lain, jika pemerintah memang bermaksud mengurangi perannya dalam pengelolaan pendidikan, maka muncul ketidakyakinan akan komitmen pemerintah untuk ikut membantu menanggung beban biaya pendidikan. Apalagi pemerintah seperti ‘mengeluh’ karena selama ini biaya operasional yang dikeluarkan untuk penyelenggaraan pendidikan tidaklah kecil.
Nah, jika institusi pendidikan memang dituntut untuk mandiri dan tidak lagi berpangku tangan pada subsidi pemerintah, maka logikanya, metode bisnis menjadi sebuah keharusan. Apalagi, BHP memberikan wewenang bagi institusi pendidikan untuk melakukan pengelolaan secara otonom. Dengan kata lain, BHP adalah badan hukum bagi penyelenggaraan atau satuan pendidikan formal, yang berfungsi memberikan pelayanan pendidikan kepada peserta didik, berprinsip nirlaba, dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan.
Nirlaba, yaitu prinsip kegiatan yang tujuan utamanya bukan mencari sisa lebih. Sehingga apabila timbul sisa lebih hasil usaha dari kegiatan BHP, maka seluruh sisa lebih hasil kegiatan tersebut harus ditanamkan kembali ke dalam BHP untuk meningkatkan kapasitas dan mutu layanan pendidikan. Hal inilah yang dikawatirkan akan menyulut praktik komersialisasi.
Misalnya, jika ada sisa lebih dari kegiatan BHP sangat mungkin digunakan untuk membangun unit bisnis baru guna menopang institusinya. Sehingga, yang terlihat adalah parktik-praktik bisnis dalam dunia pendidikan. Bahkan terbuka kemungkinan, seluruh aset dan fasilitas yang dimiliki oleh institusi pendidikan juga dikelola dan dimanfaatkan untuk mencari keuntungan karena otonomi tadi.
Di samping membentuk karakter komersialisasi, BHP juga dapat mendorong isntitusi pendidikan menjadi elitis. BHP yang semestinya ditujukan untuk meningkatkan pelayanan pendidikan kepada masyarakat justru malah membatasinya. Ini sungguh ironis. Karena, model yang ada dalam RUU BHP malah mempersempit ruang bagi seluruh warga Negara untuk mengenyam layanan pendidikan.
Apalagi jika kebijakan pengelolaan keuangan kampus malah memberatkan mahasiswa. Maka konsekuensinya, kampus hanya bisa diakses oleh mahasiswa kaya, sedangkan yang miskin kian tersisih. Pendidikan yang ada malah memunculkan kelas-kelas dan kesenjangan baru dalam masyarakat. Karena kampus hanya dapat diakses oleh masyarakat high class.
Apa yang terjadi pada Badan Hukum Milik Negara (BHMN) yang telah diterapkan di empat Perguruan Tinggi Negeri (PTN), yakni, UI, ITB, UGM, dan IPB adalah contoh nyata. Pemerintah ingin mengurangi dana pendidikan yang tinggi, kemudian mereka membuat BHP, sehingga PTN harus mencari dana sendiri. Akibatnya, SPP melonjak naik. Jelas, hal itu merugikan masyarakat kecil.
Padahal pendidikan merupakan hak setiap warga Negara untuk meningkatkan mutu dan martabat sebuah bangsa. Jika pendidikan yang sebelumnya merupakan aset dominan telah beralih menjadi wilayah komoditas dan elitis, maka ini merupakan ancaman pemelencengan serius dari tujuan diselenggarakannya pendidikan nasional. Yakni, mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya.
Oleh: Agus Nur Cahyo, Dewan Redaksi LPM Rhetor serta mahasiswa Fakultas Dakwah UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta

Kritik Atas Penyelenggaraan Ospek Di UIN Sunan Kalijaga Ospek Mahasiswa Baru dan ‘Hidden Agenda’

Sudah menjadi tradisi tahunan, kegiatan Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus (Ospek) selalu dilaksanakan setiap penerimaan mahasiswa baru. Begitu juga dengan tahun ajaran baru sekarang. Hampir tidak ada perguruan tinggi di Indonesia yang melalaikan momen itu.
Ospek, secara filosofis memang sengaja dirancang untuk memperkenalkan dan mengadaptasikan kehidupan kampus kepada mahasiswa baru. Hal itu bisa dipahami karena sistem kehidupan kampus sangat berbeda dengan sistem kehidupan sekolah asalnya.
Di kampus, mahasiswa baru akan menemukan banyak hal yang tidak pernah ditemui di sekolah asalnya. Mereka, misalnya, belum mengenal proses belajar-mengajar di perguruan tinggi yang berbasis pada otonomi keilmuan dan kebebasan mimbar akademik.
Nantinya, mahasiswa dituntut untuk berperan secara aktif dan kompetitif dalam mengaktualisasikan dirinya. Salah satunya melalui jalan organisasi atau kegiatan-kegiatan mahasiswa yang terdapat di lingkungan kampus. Baik dalam bentuk kegiatan Intra kampus maupun ekstra kampus.
Dalam penyelenggaraan Ospek, eksistensi dari kegiatan kemahasiswaan tersebut juga menjadi menu utama yang akan disuguhkan kepada para mahasiswa baru. Hal itu dilakukan dengan tujuan agar mahasiswa baru nantinya tidak teralienasi di tempat yang masih baru. Sehingga dapat memilih untuk bergabung dengan organisasi atau kegiatan lain yang diminatinya sebagai sarana aktualisasi diri.
Dengan menciptakan dinamika kelompok dan membina keakraban di antara peserta, semangat dan motivasi mereka untuk maju bisa ditumbuhkan. Namun, yang paling ironis dalam rangkaian acara yang satu ini adalah ketika harus menggugah dan menumbuhkan semangat kritisisme mahasiswa baru.
Entah bagaimana motifnya, “acara” yang satu ini justru kerab memunculkan konflik baru di antara panitia pelaksana. Hal ini dapat dilihat dalam penyelenggaraan Ospek di kampus UIN Sunan Kalijaga. Jika merunut sejarah yang sudah-sudah tentang pelaksanaan Ospek di kampus ini, wilayah yang satu ini memang amat riskan dalam memunculkan konflik.
Fenomena seperti ini mungkin telah dianggap wajar oleh sebagian mereka. Sebab jika ditelusuri secara politis, ada banyak organisasi baik intra maupun ekstra yang hidup di kampus UIN Sunan Kalijaga ini. Tak jarang, banyaknya organisasi tersebut malah melahirkan persaingan yang tidak sehat antara satu organ dengan organ lain. Dan cenderung mengarah kepada persoalan yang berbau politis.
Seperti dalam tragedi Pemilihan Mahasiswa (Pemilwa) di UIN Suka tempo lalu. Pemilwa yang mustinya menjadi instrument pembelajaran pilitik yang demokratis malah berujung pada tindakan anarkis antar mahasiswa. Perang terbuka secara fisik antar partai yang merupakan jelmaan dari organ ekstra tersebut tidak dapat terelakkan lagi. Akibatnya, perkelahian antar mahasiswa meletus di medan laga.
Ada banyak faktor yang menyebabkan peristiwa itu terjadi. Hal yang menjadi sumbu utama permasalahan tersebut ialah adanya perang kepentingan antar organ ekstra. Organ ekstra yang merupakan instrument politik bagi mahasiswa tersebut telah dimasuki oleh agenda-agenda politik “busuk”.
Sungguh ironis kedengarannya. Kompleksitas yang ada ternyata belum mampu menjadi ruang berdialektika untuk mendewasakan diri dalam kehidupan plural. Tetapi justru malah menjebaknya ke dalam persaingan yang bersifat politis dan bahkan anarkis.
Fenomena tersebut memang telah sejak lama mengental di kampus UIN Suka ini. Lantas bagaimana jika kemudian orang-orang dari organ ekstra tersebut ikut menjadi penyelenggara kegiatan Ospek?
Tanpa bermaksud “menghakimi” keberadaan dari organ ekstra, tetapi sampai saat ini penulis mengamati—diakui atau tidak—fenomena tersebut masih sering terjadi. Perhelatan ini biasanya terlihat saat acara penggugahan atau penyadaran mahasiswa baru tentang bagaimana melakukan analisis sosial (Ansos) terhadap berbagai peristiwa di sekelilingnya. Baik di tingkatan lokalitas (lokasi di mana tinggal), nasionalitas (Negara) maupun globalitas (Internasional).
Melalui momen tersebut para panitia–yang notabene dari organ ekstra—mulai membelalakkan mata lebar-lebar. Mereka mencari orang-orang yang dianggap cocok untuk menjadi pengikutnya. Sebab, kompleksitas panitia yang memiliki bermacam latar belakang organisasi ekstra kampus tersebut telah diselipi misi khusus, yaitu hunting kader.
Kemudian, “perang perebutan” dalam pencarian kader pun dimulai. Caranya dengan mendekati mereka-mereka yang terlihat pandai dan memiliki keberanian dalam melakukan retorika serta mempunyai pemikiran kritis. Bagi organ ekstra, kader seperti inilah yang diidam-idamkan mampu meneruskan perjuangannya.
Nah, dalam kondisi yang seperti ini, yang terjadi kemudian adalah perebutan kekuasaan antar-panitia untuk menguasai forum. Hal ini dimaksudkan agar ideologi dari organ tertentu tersebut dapat dengan mudah dan cepat dimengerti oleh peserta Ospek. Panitia yang berasal dari organ ekstra tertentu yang dapat menguasai, merekalah yang akhirnya akan mendikte pikiran mahasiswa baru.
Yang lebih miris, seringkali terlihat perang dingin antara panitia dari organ satu dengan organ lain. Jika demikian yang terjadi saat penyelengaraan Ospek, bagaimana kritisisme mahasiswa baru dapat tumbuh sedangkan panitianya saja secara tidak langsung telah mengajarkan untuk bersifat egois dan fanatik. Yang akan terjadi justru penumpulan kepekaan sosial mahasiswa.
Berkaca kepada sisi lain penyelenggaraan Ospek di UIN Suka di atas, tidak salah kalau kemudian Ospek saat ini dikatakan sebagai cermin sakitnya kehidupan politik masyarakat. Terutama masyarakat kampus yang masih belajar berpolitik namun tingkat nafsunya akan kekuasaan justru sangat besar.
Kekuasaan itu seberapa pun kecilnya telah dijadikan alat untuk memanipulasi orang lain. Jika hal ini dibiarkan bukankah kita secara tidak sadar telah memupuk mahasiswa menjadi generasi yang mempunyai sikap mental oportunis dan korup.
Untuk itu, Ospek harus dikembalikan pada filosofi semula. Ospek yang selama ini sering digunakan sebagai arena perang ideologi (hidden agenda) harus diganti dengan Ospek yang bervisi humanis dan mencerahkan jiwa dan pikiran mahasiswa baru. Panitia Ospek bukanlah penguasa yang dapat mendikte semaunya sendiri, tapi hanya sebatas fasilitator.
Momen tradisi tahunan ini jangan sampai dijadikan ajang penyebaran berbagai kepentingan yang berbau politis. Membangun negara haruslah dilakukan dengan cara-cara yang baik dan menanamkan mental yang luhur kepada calon generasi penerusnya.
Oleh: Agus Nur Cahyo Pemimpin Redaksi LPM Rhetor serta mahasiswa Fakultas Dakwah UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

Memilih Presiden Bervisi Kerakyatan

Saat ini rakyat Indonesia sedang menanti hari-hari krusial dimana suaranya turut menentukan masa depan bangsa ini lima tahun mendatang. Hari-hari itu tiada lain adalah pemilihan presiden yang dihelat 8 Juli mendatang. Sejauh ini masyarakat telah mengenal tiga pasang capres-cawapres yang katanya siap untuk melakukan perubahan yang lebih baik.
Di mata rakyat, profil dari ketiga kandidat tersebut sudah tak asing lagi karena sudah lama dikenal. Kandidat Mega-Prabowo merupakan mantan presiden RI sekaligus putri mendiang Bung Karno berpasangan dengan mantan Pangkostrad. Sedangkan SBY-Boediono, merupakan pasangan presiden RI (saat ini) sekaligus jenderal TNI dengan mantan Gubernur BI. Dan JK-Wiranto tiada lain adalah pasangan wakil presiden (saat ini) sekaligus pengusaha dengan mantan jenderal TNI.
Apalagi dengan adanya kampanye prisiden saat ini, dimana para kandidat tersebut saling berlomba-lomba mengenalkan dirinya kepada rakyat berikut visi-misi yang diusung jika terpilih sebagai presiden nanti. Bahkan manuver politik, seperti menebar janji-janji manis atau melakukan kontrak politik tak lupa pula dilakukan. Tujuannya tiada lain untuk ”merayu” dan meyakinkan rakyat bahwa dirinya lebih unggul dari kandidat yang lain. Sehingga kesannya tampak lebih ideal jika menjadi presiden.
Saya pikir, rakyat kita juga telah cukup cerdas sebagai warga negara yang sadar akan berpolitik untuk menilai dan memilihnya. Di benak mereka juga mungkin telah ada siapa sebenarnya sosok presiden pilihannya itu. Setidaknya kampanye pilpres yang marak dilakukan selama ini telah membentuk semacam gambaran ideal tentang sosok pemimpin idolanya. Yang jelas, harapannya dapat memberi rasa keadilan dan kemakmuran bagi rakyat.
Nah, pilihannya tersebut pastilah jatuh pada presiden yang mempunyai visi kerakyatan. Tapi persoalannya sekarang, semua kandidat berdalih untuk kepentingan rakyat, dengan versi dan angelnya masing-masing. Semuanya berusaha menarik simpati dengan mengatasnamakan rakyat demi mendulang dukungan. Semua ingin merasa paling dekat dengan rakyat. Simbol-simbol ataupun slogan kedekatan dengan rakyat pun sudah diperlihatkan oleh para capres dan cawapres.
Pasangan JK-Win lebih dulu mengusung slogan “Lebih Cepat Lebih Baik Untuk Kepentingan Rakyat. Kemudian disusul SBY-Boediono dengan slogannya “Bekerja Keras untuk Rakyat”. Dan terakhir pasangan Mega-Pro dengan “Ekonomi Kerakyatannya”. Para kandidat inipun mulai memperlihatkan rasa kedekatannya dengan rakyat. Jusuf Kalla misalnya, mengakrabkan diri bersama rakyat dengan berkunjung ke pasar-pasar. Sedangkan Wiranto, jauh-jauh hari selalu mengedepankan kesengsaraan rakyat dalam kampanyenya di televisi dan surat kabar.
Sedangkan, Boediono naik kereta api—yang juga simbol transportasi masal rakyat—menuju Bandung untuk deklarasi capres-cawapres Partai Demokrat. SBY sendiri pun telah merintis kedekatannya dengan rakyat dengan meluncurkan program Istura (Istana Untuk Rakyat) sejak Mei 2008. Yang lebih menarik lagi pasangan Mega-Pro. Mereka lebih simbolik dengan memilih tempat pembuangan sampah di Bantar Gebang tanggal 24 Mei lalu sebagai tempat pendeklarasian.
Semua hal yang dilakukan capres-cawapres tersebut hanya satu muaranya, yakni ingin menunjukkan dan “memikat” perhatian rakyat agar terpilih menjadi orang nomer satu di negeri ini. Tentunya tanpa rasa suudzon terhadap tekad, visi dan misi yang diusungnya dalam berkompetisi membangun negeri ini. Bukan sekedar “cari muka” dan tebar pesona untuk mencari dukungan rakyat, tetapi setelah terpilih rakyat malah dilupakan.
Maka memilih capres yang bervisi kerakyatan memang sebuah tuntutan dan kebutuhan. Bukan hanya sekedar janji atau slogan, tetapi bukti kongkrit. Lantas bagaimana jika semuanya mengaku untuk kepentingan rakyat?. Yang jelas ketiganya mempunyai versi dan penekanan yang berbeda-beda pada definisi “rakyat”. Mega-Pro berbasis membangun ekonomi kerakyatan dalam pemerintahannya nanti, SBY-Boediono ingin membangun pemerintahan yang bersih untuk rakyat, sedangkan JK-Win basis pemerintahannya ialah ingin bergerak cepat jika menyangkut kepentingan rakyat.
Sekarang tinggal diserahkan kepada rakyat. Rakyat Indonesialah yang memilih dan menentukan, siapa kira-kira pantas menjadi yang terbaik untuk memimpin negeri ini. Yang jelas presiden yang bervisi kerakyatan. Karena rakyat telah memiliki pengertian, pengetahuan dan gambaran “kerakyatan” sendiri sesuai dengan calonnya masing-masing. Sekarang tergantung selara rakyat, presiden dengan visi kerakyatan yang mana?.
Oleh: Raodatul Jannah, Mahasiswa Jurusan Biologi Fakultas Saintek, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Keilmuan Akademik Vs Ilmu Kehidupan

Munculnya kriteria Capres dan Cawapres 2009 yang mensyaratkan minimal bergelar Strata Satu (S1) menurut penulis, karena adanya krisis kepemimpinan. Wacana tersebut lahir di tengah akumulasi berbagai krisis yang telah lama menjerat bangsa yang hingga kini tak juga kunjung teratasi oleh para pemimpin negara. Dari krisis kepercayaan, nilai dan budaya sampai pada krisis akhlak. Krisis politik dan kepemimpinan merupakan produk dari adanya krisis-krisis tersebut.
Badai krisis kepemimpinan dan melorotnya kepercayaan rakyat kepada sosok pemimpin, menjadikan format ideal seorang pemimpin menjadi kabur. Presiden yang merupakan sosok pemimpin yang memegang peran sentral dalam negara menjadi sasaran utama ‘perdebatan’ politik. Sehingga persepsi ilmiah pun muncul. Untuk memunculkan seorang pemimpin (presiden) yang ideal haruslah dengan menentukan gelar akademiknya, yaitu minimal SI.
Wacana tersebut merupakan keputusan yang perlu dipertanggungjawabkan secara empirik. Siapa yang dapat menjamin calon presiden yang memiliki gelar minimal S1 lebih berkualitas kepemimpinanannya dari pada yang sebelum-sebelumnya. Secara politik, penyebutan kriteria calon presiden tersebut mengundang polemik antara pemimpin yang berpengalaman akademik lebih tinggi dengan yang dibawahnya. Akhirnya, format ideal seorang pemimpin yang berkualitaspun bisa jadi hanya dimiliki oleh mereka yang memiliki gelar akademik yang tinggi.
Yang menjadi persoalan utama adalah apakah gelar SI menjadi patokan utama untuk menentukan dan menemukan kualitas seorang pemimpin bangsa. Memang, dalam wilayah akademik tingkat pendidikan formal seseorang sangat mungkin menentukan kualitas atau kapabilitas dilingkungan akademiknya. Namun, presiden bukanlah wilayah akademik yang lebih mengutamakan kacakapan intelektual melalui pengembangan keilmuannya, melainkan wilayah parktis yang membutuhkan kerja kongkret dibanding teoritis.
Presdien ialah seorang yang telah memiliki kecakapan memimpin dan kemampuan menjalankan amanat penuh dari yang dipimpinnya. Kriteria ‘Kecakapan Memimpin’, musti seseorang yang benar-benar memiliki jiwa kepemimpinan yang tinggi. Artinya, seorang pemimpin benar-benar memperhatikan, merasakan dan berusaha secara maksimal untuk mewujudkan keinginan bersama seluruh rakyatnya. Yakni, terwujudnya keadilan, kesejahteraan dan kemakmuran bagi seluruh rakyatnya.
Praktis, seorang pemimpin bangsa di samping memiliki kecakapan intelaktual, terdapat aspek yang jauh lebih penting lagi. Yakni, mimiliki kecakapan Ilmu Kehidupan. Ilmu Kehidupan ialah ilmu yang diperoleh seseorang yang secara hikmah memperlajari dan menghayati berbagai fitrah kehidupan. Kemudian ia dapat menjalankan fungsi hidup sebagai mana kehidupan menjalani kodratnya dari Tuhan untuk manusia.
Ilmu Kehidupan ini memiliki banyak sekali hikmah dan aplikasinya. Kecakapan khusus ini menuntut seseorang untuk lebih menghargai dan menghormati kehidupan sebagai karunia Tuhan untuk didayagunakan sebagaimana mestinya. Dalam hal ini, manusia menjalankan fungsinya sebagai ‘Khailfah Tuhan’ di muka bumi. Seberapa besarnya ia dapat menjadi rahmat bagi manusia yang lain melalui fungsinya tersebut.
Seorang presiden yang dapat menguasai Ilmu Kehidupan akan memaksimalkan fungsinya sebagaimana seorang pemimpin. Ia mengayomi, melindungi, dan menjadi pelayan rakyatnya. Bahkan, ketika ia melenceng tak segan-segan untuk minta dikritik. Karena seorang pemimpin yang baik pada dasarnya bukan saja memimpin rakyat, melainkan juga dibimbing dan dipimpin oleh rakyatnya.
Secara aplikatif, seorang pemimpin yang memiliki Ilmu Kehidupan akan memposisikan fungsinya sebagai penegak keadilan, kesejahteraan dan kemakmuran bagi rakyatnya. Memprioritaskan kepentingan rakyatnya dari pada diri dan keluarganya, berlaku jujur, tidak korupsi serta menjadi teladan bagi rakyatnya. Sejarah telah membuktikan, banyak pemimpin besar dunia yang berangkat dari orang biasa secara pendidikannya, tetapi sukses dalam menjalankan roda kepemimpinannya.
Salah satunya ialah Muhammad SAW, yang oleh Michael Hart ditempatkan pada posisi pertama dalam “Seratus Tokoh Paling Berpengaruh Dalam Sejarah”, karena kesuksesan menjalankan fungsinya sebagai seorang pemimpin. Muhammad SAW ialah pemimpin yang menguasai dan mengamalkan Ilmu Kehidupan sebagai seorang pemimpin kepada rakyatnya. Bahkan, ia tidak mempunyai gelar akademik.
Wacana kriteria ideal seorang presiden haruslah minimal bergelar S1 perlu ditelisik secara empiris dan pembuktian kebenaran historis. Siapapun boleh menjadi presiden bangsa ini, asalkan memiliki kemampuan intelektual dan memiliki Ilmu Kehidupan secara matang. Seorang guru SD, penyair, atau petani pun bisa menjadi presiden, asalkan memiliki sikap kepemimpinan yang tinggi, jujur, piawai berorganisasi, mendengar suara rakyatnya, tidak korupsi serta kriteria lain menurut kacamata Ilmu Kehidipan. Apa gunanya memiliki calon-calon pemimpin negara yang memiliki gelar tinggi namun mental yang ditanamkan ialah mental pencuri. Koruptor!.
Alhasil, apapun latar belakangnya terhadap calon presiden, kalau ia memiliki kematangan Ilmu Kehidupan boleh-boleh saja. Toh yang paling dibutuhkan rakyat ialah terciptanya keadilan, kemakmuran dan kesejahteraan sebagai manifestasi dari Ilmu Kehidupan itu sendiri. Bukan gelar akademis yang ‘melangit’ namun tidak bisa ‘membumi’. Sebuah keberuntungan besar jika ada tipe pemimpin yang dapat menggabungkan dua kapasitas tersebut.
Oleh : Agus Nur Cahyo, Pemimpin Redaksi LPM Rhetor dan mahasiswa Fak. Dakwah UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

ATM Kondom: Sebuah Fenomena Hedonisme

Isu akan didirikannya ATM Kondom di kota-kota besar di Indonesia (termasuk Yogyakarta) amat menghentakkan perhatian masyarakat. Tak ayal, isu yang bergulir tersebut kemudian direspon secara serius hingga memancing perdebatan dan polemik di media massa. Munculah pihak yang pro dan kontra. Mereka saling adu argumen. Salah satu pihak yang pro mengatakan setuju dengan alasan dapat menangkal penyebaran virus HIV/AIDS di masyarakat atau paling tidak memberi perlindungan kepada para penggunanya. Sementara yang kontra menolak dengan berbagai alasan. Salah pendapat yang lumayan kuat ialah sebuah langkah yang “salah pasang” melarikan ATM Kondom di muka publik. Hal tersebut dimungkinkan karena dapat diakses semua orang, baik dari segala umur. Seharusnya dilokalisasi saja, mengingat konsumsi utamnya hanya orang-orang tertentu.
Terlepas dari perdebatan di atas, fenomena ATM Kondom menurut penulis merupakan sebuah propaganda baru terhadap gaya hedonisme barat. Disadari atau tidak. Hedonisme secara sederhana diartikan sebagai faham hidup yang memprioritaskan kenikmatan sebagai ukuran tertinggi, tanpa begitu memperdulikan norma. Mengapa? Sebab siapapun orangnya ketika mendengar perbincangan mengenai ‘kondom’ pasti asumsinya tak jauh amat dari fungsinya. Mereka tak memandang bagaimana alat tersebut digunakan, apakah telah mengikuti standar norma agama dan sosial, serta siapa para penggunanya?. Sehingga tidak mustahil jika hal tersebut benar-benar direalisasikan akan merangsang tumbuh suburnya perilaku Free sexs sebagai bentuk kampanye hedonisme.
Tidak jelas format yang digunakan. ATM (Anjungan Tunai Mandiri) ialah sebuah mesin yang digunakan untuk transaksi perbankan. Atau, dengan logika sederhana, mesin canggih milik Bank yang dapat mengeluarkan uang dari tabungan tiba-tiba disulap menjadi mesin canggih yang dapat mengeluarkan alat kontrasepsi.
Oleh karena kemajuan teknologi telah menggelora, memaksa semuanya dibungkus serba instan termasuk kondom. Jenis alat kontrasepsi untuk laki-laki yang terbuat dari karet tersebut dapat diakses dengan muda dan cepat oleh segala umur. Apalagi dengan nilai nominal yang sedikit dan dibumbui dengan aneka rasa yang cukup menggiurkan. Artinya, praktek coba-coba akan penggunaan alat kontrasepsi tersebut bukan tidak mungkin terjadi. Alhasil, Free sexs akan menjadi sebuah alternatif kebutuhan tersendiri dalam kehidupan.
Faktanya, Free sexs yang merupakan penjelmaan atas perilaku hedonisme justru tumbuh subur di kota-kota besar, baik yang terselubung macam Jakarta (Moammar Emka dalam bukunya Jakarta Undercover, Sexs’n city). Pertanyaanya kemudian adalah mengapa ia tidak berkembang di pedesaan yang jauh dari gaya hidup perkotaan? Sebagian besar berpendapat hal itu merupakan implikasi negatif dari pesatnya arus modernisasi dan globalisasi.
Dua arus besar tersebut telah membentuk semacam trend di tengah masyarakat. Sebuah trend yang mengarahkan kepada perilaku hidup bebas (free life). Maka sangat wajar jika kemudian trend globalisasi mendominasi untuk menguasai mainstrem dan moralitas masyarakat. Budaya-budaya hedonis macam pergaulan bebas dan yang lainnya menjadi corak hidup tersendiri. Akhirnya apa yang disebut budaya global (global culture) dan gaya hidup global (global life style) berubah menjadi corak kebudayaan Indonesia.

Berkaitan dengan hal tersebut, patut diingat bahwa pemahaman masyarakat kita terhadap seks selalu mengundang pemahaman yang ganda. Di satu pihak seks selalu ditutup-tutupi dan di pihak lain menuntut untuk dibuka secara terang-terangan. Alasan keduanya sama, yakni untuk mempertahankan stabilitas di masyarakat. Seperti fenomena ATM Kondom di atas, yang satu beralasan agar penyebaran virus HIV AIDS dapat dibungkam dan yang lain beralasan agar seks bebas tidak meracuni masyarakat. Bagaikan berhadapan dengan buah simalakama, semua demi masyarakat sehingga sangat sulit untuk mengambil keputusan yang bijak.
Legalisasi Hedonisme
Jika nantinya ATM Kondom jadi direalisasikan di kota-kota besar di Indonesia, maka secara langsung hal ini telah melegalkan keberadaanya. Otomatis peran dan fungsinya pun turut menjadi legal. Dilindungi melalui hukum serta terikat dengan ketentuan aturan-aturan hukum yang berlaku. Menjadi sesuatu yang amat memprihatinkan jika implikasi yang nantinya ditimbulkan terkait keberadaan legalisasi ATM Kondom turut menjadi lumrah atau bahkan legal. Ekses perilaku amoral macam Free sexs, ekshibisionis atau perilaku mempertontonkan keerotisannya ke muka publik tanpa rasa malu, atau yang lainnya, merupakan gejala yang harus diwaspadai. Bukankah hal tersebut berarti akan melegalisasi hidonisme?.
Rencana pendirian ATM Kondom memang harus ditilik kembali melalui penelitian dan pengkajian yang mendalam berikut alternatif konsekuensi yang ditimbulkan. Sebab fenomena semacam ini amat riskan menimbulkan budaya bebas (amoral) di tengah masyarakat kita. Apalagi kita hidup di negeri yang menganut budaya timur yang syarat akan norma-norma agama dan sosial.
Jika rencana pendirian ATM Kondom tidak ditempatkan pada wilayah yang tepat, maka seks akan menjadi perilaku publik. Ini juga merupakan ancaman serius bagi moral anak-anak muda bangsa Indonesia. Karena ia dapat dengan cepat menyatu dengan atmosfir kehidupan manusia dan akan menjadi motif bagi gerak-gerik manusia. Bahayanya lagi, jika telah menjadi alasan untuk hampir setiap interaksi sosial. Sehingga seluruh ruang hidup manusia berubah menjadi “kamar tidur” bagi aktivitas seks.
Bahkan ada yang berpendapat radikal bahwa, pendirian ATM Kondom di Indonesia merupakan desain untuk menghancurkan generasi mudanya melalui kampanye free sexs yang secara terang-terangan dikecam oleh norma agama dan sosial. Jika demikian adanya, maka tunggulah saatnya perilaku hedonisme tumbuh dengan subur di Negara ini!.
Oleh: Agus Nur Cahyo, Staf Redaksi LPM Rhetor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.