Spiga

Senin, 13 Juli 2009

Menghadapi Koruptor dengan Peti Mati

Persoalan korupsi di Indonesia merupakan penyakit lama yang sulit untuk diberantas. Parktik-praktik korupsi yang merupakan warisan orde baru itu justru semakin tumbuh subur.
Persoalannya bukan tidak ada undang-undang resmi atau badan hukum yang berwenang memberantasnya, tetapi ketika semua itu dihadapkan pada kondisi real di lapangan tiba-tiba tidak berdaya menghadapinya. Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) selama ini memang telah melakukan tindakan hukum terhadap beberapa pejabat yang melakukan praktik korupsi. Bila melihat realitas yang ada, dari sekian kasus-kasus korupsi yang telah dituntaskan ternyata masih lebih banyak yang belum tertangani. Koruptor-koroptur di negeri ini masih bebas melenggang ke sana ke mari tanpa ada hukum yang menjeratnya.
Hal tersebut tidak lain karena perlawan yang dihadapai sangatlah berat. Koruptor-koruptor kakap tersebut lumayan cerdik. Mereka mempunyai seribu macam cara agar dirinya tidak kelihatan sedang korupsi. Uang adalah kekuatan utama sebagai selimut untuk menutupi tindak kejahatannya.
Dengan kekuatan uang yang dimiliki, mereka selalu berlindung di balik hukum. Bahkan, mereka dapat membayar pengacara-pengacara kelas kakap miliaran untuk membuat dirinya terhindar dari ancaman hukum. Apalagi koruptor tersebut me-mark up dirinya dengan melakukan tindakan peduli sosial melalui hasil korupsinya atau biasa disebut dengan “penyucian uang”. Hal ini membuat para koruptor laksana belut yang sukar untuk ditangkap.
Upaya penegakan hukum dan juga pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh pemerintah melalui KPK memang masih banyak menemui kendala. Di samping para pelakunya yang cerdik berlindung di balik hukum, juga para penegaknya yang masih kelihatan “canggung” dalam menjalankannya. Pemerintah masih terkesan belum berani dan tegas dalam menindak para koruptor di negeri ini.
Belum lagi ditambah dengan banyaknya kerikil di sana-sini yang menghadang tugasnya. Aturan-aturan hukum yang ada bolehlah lengkap dan menghardik. Namun, ketika tidak bisa diterapkan, semua itu tidaklah memiliki arti apa-apa.
Belajar “Resep” dari Tiongkok
Sebenarnya, semua itu tidak akan menjadi masalah utama jika memang pemerintah secara tegas dan berani menindak para koruptor, bukan hanya sekedar wacana. Setidaknya rencana dan komitmen dalam memberantas korupsi telah dicontohkan resepnya oleh tetangga kita, yaitu Tiongkok. Negara tersebut sekarang sudah dapat melepaskan diri dari belenggu korupsi yang telah menjerat bertahun-tahun lamanya.
Pada tahun 1998 Tiongkok menghadapi penyakit besar dalam pemerintahan, yaitu korupsi. Sehingga memaksa menteri Zhu Rongjie pada waktu itu, memprioritaskan pemerintahannya adalah melibas korupsi.
Hasilnya pun lumayan optimal, sejak tahun 2001, sudah lebih kurang empat ribu orang ditembaki di depan umum karena korupsi. Bahkan selama kuartal pertama tahun 2003 lalu, 33.761 polisi dipecat. Mereka dipecat mulai dari menerima suap, mabuk-mabukan, berjudi dan membawa senjata api di luar tugas mereka, serta kualitas di bawah standar.
Pemerintah Tiongkok memang tegas dan berani dalam mengambil langkah memberantas korupsi. Dalam menegakkan hukum tidak peduli siapa pelakunya. Siapapun orangnya yang salah langsung di hadapkan kepada hukum. Bahkan, hukuman mati pun tidak ragu-ragu dijalankan. Lalu bagaimana dengan pemberantasan korupsi di Indonesia?
Jika Indonesia adalah Tiongkok, maka semua koruptor-koruptor pasti akan “merinding” dan takut. Berapa banyak peti mayat yang disediakan jika semua koruptor di negeri ini dihukum mati? Mungkin sekarang bangsa ini sudah terbebas dari julukan “Negeri Para Koruptor”. Sayang, Indonesia bukanlah Tiongkok!
Pemerintah bangsa ini masih terkesan “takut” menghadiahi para koruptor dengan sebuah “peti mati”. Padahal korupsi di negeri ini telah menjadi penyakit akut yang menggerogoti hampir seluruh aspek kehidupan.
Pemerintah negeri ini seperti kehabisan mental dan daya dalam memerangi tindak Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Selalu ada alasan-alasan atau halangan yang sifatnya kultural.
Ketika praktek korupsi sudah semakin menyesakkan dada dan sudah sampai pada puncak batas kesabaran, maka tidak ada toleransi hukuman lain kecuali mati!. Dor…!, Adalah satu-satunya hukuman yang patut dijalankan jika ingin bangsa ini terbebas dari jeratan korupsi. Tetapi sekali lagi sayang, Indonesia bukanlah Tiongkoka
Oleh: Agus Nur Cahyo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar