Spiga

Senin, 13 Juli 2009

Kritik Atas Penyelenggaraan Ospek Di UIN Sunan Kalijaga Ospek Mahasiswa Baru dan ‘Hidden Agenda’

Sudah menjadi tradisi tahunan, kegiatan Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus (Ospek) selalu dilaksanakan setiap penerimaan mahasiswa baru. Begitu juga dengan tahun ajaran baru sekarang. Hampir tidak ada perguruan tinggi di Indonesia yang melalaikan momen itu.
Ospek, secara filosofis memang sengaja dirancang untuk memperkenalkan dan mengadaptasikan kehidupan kampus kepada mahasiswa baru. Hal itu bisa dipahami karena sistem kehidupan kampus sangat berbeda dengan sistem kehidupan sekolah asalnya.
Di kampus, mahasiswa baru akan menemukan banyak hal yang tidak pernah ditemui di sekolah asalnya. Mereka, misalnya, belum mengenal proses belajar-mengajar di perguruan tinggi yang berbasis pada otonomi keilmuan dan kebebasan mimbar akademik.
Nantinya, mahasiswa dituntut untuk berperan secara aktif dan kompetitif dalam mengaktualisasikan dirinya. Salah satunya melalui jalan organisasi atau kegiatan-kegiatan mahasiswa yang terdapat di lingkungan kampus. Baik dalam bentuk kegiatan Intra kampus maupun ekstra kampus.
Dalam penyelenggaraan Ospek, eksistensi dari kegiatan kemahasiswaan tersebut juga menjadi menu utama yang akan disuguhkan kepada para mahasiswa baru. Hal itu dilakukan dengan tujuan agar mahasiswa baru nantinya tidak teralienasi di tempat yang masih baru. Sehingga dapat memilih untuk bergabung dengan organisasi atau kegiatan lain yang diminatinya sebagai sarana aktualisasi diri.
Dengan menciptakan dinamika kelompok dan membina keakraban di antara peserta, semangat dan motivasi mereka untuk maju bisa ditumbuhkan. Namun, yang paling ironis dalam rangkaian acara yang satu ini adalah ketika harus menggugah dan menumbuhkan semangat kritisisme mahasiswa baru.
Entah bagaimana motifnya, “acara” yang satu ini justru kerab memunculkan konflik baru di antara panitia pelaksana. Hal ini dapat dilihat dalam penyelenggaraan Ospek di kampus UIN Sunan Kalijaga. Jika merunut sejarah yang sudah-sudah tentang pelaksanaan Ospek di kampus ini, wilayah yang satu ini memang amat riskan dalam memunculkan konflik.
Fenomena seperti ini mungkin telah dianggap wajar oleh sebagian mereka. Sebab jika ditelusuri secara politis, ada banyak organisasi baik intra maupun ekstra yang hidup di kampus UIN Sunan Kalijaga ini. Tak jarang, banyaknya organisasi tersebut malah melahirkan persaingan yang tidak sehat antara satu organ dengan organ lain. Dan cenderung mengarah kepada persoalan yang berbau politis.
Seperti dalam tragedi Pemilihan Mahasiswa (Pemilwa) di UIN Suka tempo lalu. Pemilwa yang mustinya menjadi instrument pembelajaran pilitik yang demokratis malah berujung pada tindakan anarkis antar mahasiswa. Perang terbuka secara fisik antar partai yang merupakan jelmaan dari organ ekstra tersebut tidak dapat terelakkan lagi. Akibatnya, perkelahian antar mahasiswa meletus di medan laga.
Ada banyak faktor yang menyebabkan peristiwa itu terjadi. Hal yang menjadi sumbu utama permasalahan tersebut ialah adanya perang kepentingan antar organ ekstra. Organ ekstra yang merupakan instrument politik bagi mahasiswa tersebut telah dimasuki oleh agenda-agenda politik “busuk”.
Sungguh ironis kedengarannya. Kompleksitas yang ada ternyata belum mampu menjadi ruang berdialektika untuk mendewasakan diri dalam kehidupan plural. Tetapi justru malah menjebaknya ke dalam persaingan yang bersifat politis dan bahkan anarkis.
Fenomena tersebut memang telah sejak lama mengental di kampus UIN Suka ini. Lantas bagaimana jika kemudian orang-orang dari organ ekstra tersebut ikut menjadi penyelenggara kegiatan Ospek?
Tanpa bermaksud “menghakimi” keberadaan dari organ ekstra, tetapi sampai saat ini penulis mengamati—diakui atau tidak—fenomena tersebut masih sering terjadi. Perhelatan ini biasanya terlihat saat acara penggugahan atau penyadaran mahasiswa baru tentang bagaimana melakukan analisis sosial (Ansos) terhadap berbagai peristiwa di sekelilingnya. Baik di tingkatan lokalitas (lokasi di mana tinggal), nasionalitas (Negara) maupun globalitas (Internasional).
Melalui momen tersebut para panitia–yang notabene dari organ ekstra—mulai membelalakkan mata lebar-lebar. Mereka mencari orang-orang yang dianggap cocok untuk menjadi pengikutnya. Sebab, kompleksitas panitia yang memiliki bermacam latar belakang organisasi ekstra kampus tersebut telah diselipi misi khusus, yaitu hunting kader.
Kemudian, “perang perebutan” dalam pencarian kader pun dimulai. Caranya dengan mendekati mereka-mereka yang terlihat pandai dan memiliki keberanian dalam melakukan retorika serta mempunyai pemikiran kritis. Bagi organ ekstra, kader seperti inilah yang diidam-idamkan mampu meneruskan perjuangannya.
Nah, dalam kondisi yang seperti ini, yang terjadi kemudian adalah perebutan kekuasaan antar-panitia untuk menguasai forum. Hal ini dimaksudkan agar ideologi dari organ tertentu tersebut dapat dengan mudah dan cepat dimengerti oleh peserta Ospek. Panitia yang berasal dari organ ekstra tertentu yang dapat menguasai, merekalah yang akhirnya akan mendikte pikiran mahasiswa baru.
Yang lebih miris, seringkali terlihat perang dingin antara panitia dari organ satu dengan organ lain. Jika demikian yang terjadi saat penyelengaraan Ospek, bagaimana kritisisme mahasiswa baru dapat tumbuh sedangkan panitianya saja secara tidak langsung telah mengajarkan untuk bersifat egois dan fanatik. Yang akan terjadi justru penumpulan kepekaan sosial mahasiswa.
Berkaca kepada sisi lain penyelenggaraan Ospek di UIN Suka di atas, tidak salah kalau kemudian Ospek saat ini dikatakan sebagai cermin sakitnya kehidupan politik masyarakat. Terutama masyarakat kampus yang masih belajar berpolitik namun tingkat nafsunya akan kekuasaan justru sangat besar.
Kekuasaan itu seberapa pun kecilnya telah dijadikan alat untuk memanipulasi orang lain. Jika hal ini dibiarkan bukankah kita secara tidak sadar telah memupuk mahasiswa menjadi generasi yang mempunyai sikap mental oportunis dan korup.
Untuk itu, Ospek harus dikembalikan pada filosofi semula. Ospek yang selama ini sering digunakan sebagai arena perang ideologi (hidden agenda) harus diganti dengan Ospek yang bervisi humanis dan mencerahkan jiwa dan pikiran mahasiswa baru. Panitia Ospek bukanlah penguasa yang dapat mendikte semaunya sendiri, tapi hanya sebatas fasilitator.
Momen tradisi tahunan ini jangan sampai dijadikan ajang penyebaran berbagai kepentingan yang berbau politis. Membangun negara haruslah dilakukan dengan cara-cara yang baik dan menanamkan mental yang luhur kepada calon generasi penerusnya.
Oleh: Agus Nur Cahyo Pemimpin Redaksi LPM Rhetor serta mahasiswa Fakultas Dakwah UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar