Spiga

Senin, 13 Juli 2009

ATM Kondom: Sebuah Fenomena Hedonisme

Isu akan didirikannya ATM Kondom di kota-kota besar di Indonesia (termasuk Yogyakarta) amat menghentakkan perhatian masyarakat. Tak ayal, isu yang bergulir tersebut kemudian direspon secara serius hingga memancing perdebatan dan polemik di media massa. Munculah pihak yang pro dan kontra. Mereka saling adu argumen. Salah satu pihak yang pro mengatakan setuju dengan alasan dapat menangkal penyebaran virus HIV/AIDS di masyarakat atau paling tidak memberi perlindungan kepada para penggunanya. Sementara yang kontra menolak dengan berbagai alasan. Salah pendapat yang lumayan kuat ialah sebuah langkah yang “salah pasang” melarikan ATM Kondom di muka publik. Hal tersebut dimungkinkan karena dapat diakses semua orang, baik dari segala umur. Seharusnya dilokalisasi saja, mengingat konsumsi utamnya hanya orang-orang tertentu.
Terlepas dari perdebatan di atas, fenomena ATM Kondom menurut penulis merupakan sebuah propaganda baru terhadap gaya hedonisme barat. Disadari atau tidak. Hedonisme secara sederhana diartikan sebagai faham hidup yang memprioritaskan kenikmatan sebagai ukuran tertinggi, tanpa begitu memperdulikan norma. Mengapa? Sebab siapapun orangnya ketika mendengar perbincangan mengenai ‘kondom’ pasti asumsinya tak jauh amat dari fungsinya. Mereka tak memandang bagaimana alat tersebut digunakan, apakah telah mengikuti standar norma agama dan sosial, serta siapa para penggunanya?. Sehingga tidak mustahil jika hal tersebut benar-benar direalisasikan akan merangsang tumbuh suburnya perilaku Free sexs sebagai bentuk kampanye hedonisme.
Tidak jelas format yang digunakan. ATM (Anjungan Tunai Mandiri) ialah sebuah mesin yang digunakan untuk transaksi perbankan. Atau, dengan logika sederhana, mesin canggih milik Bank yang dapat mengeluarkan uang dari tabungan tiba-tiba disulap menjadi mesin canggih yang dapat mengeluarkan alat kontrasepsi.
Oleh karena kemajuan teknologi telah menggelora, memaksa semuanya dibungkus serba instan termasuk kondom. Jenis alat kontrasepsi untuk laki-laki yang terbuat dari karet tersebut dapat diakses dengan muda dan cepat oleh segala umur. Apalagi dengan nilai nominal yang sedikit dan dibumbui dengan aneka rasa yang cukup menggiurkan. Artinya, praktek coba-coba akan penggunaan alat kontrasepsi tersebut bukan tidak mungkin terjadi. Alhasil, Free sexs akan menjadi sebuah alternatif kebutuhan tersendiri dalam kehidupan.
Faktanya, Free sexs yang merupakan penjelmaan atas perilaku hedonisme justru tumbuh subur di kota-kota besar, baik yang terselubung macam Jakarta (Moammar Emka dalam bukunya Jakarta Undercover, Sexs’n city). Pertanyaanya kemudian adalah mengapa ia tidak berkembang di pedesaan yang jauh dari gaya hidup perkotaan? Sebagian besar berpendapat hal itu merupakan implikasi negatif dari pesatnya arus modernisasi dan globalisasi.
Dua arus besar tersebut telah membentuk semacam trend di tengah masyarakat. Sebuah trend yang mengarahkan kepada perilaku hidup bebas (free life). Maka sangat wajar jika kemudian trend globalisasi mendominasi untuk menguasai mainstrem dan moralitas masyarakat. Budaya-budaya hedonis macam pergaulan bebas dan yang lainnya menjadi corak hidup tersendiri. Akhirnya apa yang disebut budaya global (global culture) dan gaya hidup global (global life style) berubah menjadi corak kebudayaan Indonesia.

Berkaitan dengan hal tersebut, patut diingat bahwa pemahaman masyarakat kita terhadap seks selalu mengundang pemahaman yang ganda. Di satu pihak seks selalu ditutup-tutupi dan di pihak lain menuntut untuk dibuka secara terang-terangan. Alasan keduanya sama, yakni untuk mempertahankan stabilitas di masyarakat. Seperti fenomena ATM Kondom di atas, yang satu beralasan agar penyebaran virus HIV AIDS dapat dibungkam dan yang lain beralasan agar seks bebas tidak meracuni masyarakat. Bagaikan berhadapan dengan buah simalakama, semua demi masyarakat sehingga sangat sulit untuk mengambil keputusan yang bijak.
Legalisasi Hedonisme
Jika nantinya ATM Kondom jadi direalisasikan di kota-kota besar di Indonesia, maka secara langsung hal ini telah melegalkan keberadaanya. Otomatis peran dan fungsinya pun turut menjadi legal. Dilindungi melalui hukum serta terikat dengan ketentuan aturan-aturan hukum yang berlaku. Menjadi sesuatu yang amat memprihatinkan jika implikasi yang nantinya ditimbulkan terkait keberadaan legalisasi ATM Kondom turut menjadi lumrah atau bahkan legal. Ekses perilaku amoral macam Free sexs, ekshibisionis atau perilaku mempertontonkan keerotisannya ke muka publik tanpa rasa malu, atau yang lainnya, merupakan gejala yang harus diwaspadai. Bukankah hal tersebut berarti akan melegalisasi hidonisme?.
Rencana pendirian ATM Kondom memang harus ditilik kembali melalui penelitian dan pengkajian yang mendalam berikut alternatif konsekuensi yang ditimbulkan. Sebab fenomena semacam ini amat riskan menimbulkan budaya bebas (amoral) di tengah masyarakat kita. Apalagi kita hidup di negeri yang menganut budaya timur yang syarat akan norma-norma agama dan sosial.
Jika rencana pendirian ATM Kondom tidak ditempatkan pada wilayah yang tepat, maka seks akan menjadi perilaku publik. Ini juga merupakan ancaman serius bagi moral anak-anak muda bangsa Indonesia. Karena ia dapat dengan cepat menyatu dengan atmosfir kehidupan manusia dan akan menjadi motif bagi gerak-gerik manusia. Bahayanya lagi, jika telah menjadi alasan untuk hampir setiap interaksi sosial. Sehingga seluruh ruang hidup manusia berubah menjadi “kamar tidur” bagi aktivitas seks.
Bahkan ada yang berpendapat radikal bahwa, pendirian ATM Kondom di Indonesia merupakan desain untuk menghancurkan generasi mudanya melalui kampanye free sexs yang secara terang-terangan dikecam oleh norma agama dan sosial. Jika demikian adanya, maka tunggulah saatnya perilaku hedonisme tumbuh dengan subur di Negara ini!.
Oleh: Agus Nur Cahyo, Staf Redaksi LPM Rhetor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar