Spiga

Senin, 13 Juli 2009

Memilih Presiden Bervisi Kerakyatan

Saat ini rakyat Indonesia sedang menanti hari-hari krusial dimana suaranya turut menentukan masa depan bangsa ini lima tahun mendatang. Hari-hari itu tiada lain adalah pemilihan presiden yang dihelat 8 Juli mendatang. Sejauh ini masyarakat telah mengenal tiga pasang capres-cawapres yang katanya siap untuk melakukan perubahan yang lebih baik.
Di mata rakyat, profil dari ketiga kandidat tersebut sudah tak asing lagi karena sudah lama dikenal. Kandidat Mega-Prabowo merupakan mantan presiden RI sekaligus putri mendiang Bung Karno berpasangan dengan mantan Pangkostrad. Sedangkan SBY-Boediono, merupakan pasangan presiden RI (saat ini) sekaligus jenderal TNI dengan mantan Gubernur BI. Dan JK-Wiranto tiada lain adalah pasangan wakil presiden (saat ini) sekaligus pengusaha dengan mantan jenderal TNI.
Apalagi dengan adanya kampanye prisiden saat ini, dimana para kandidat tersebut saling berlomba-lomba mengenalkan dirinya kepada rakyat berikut visi-misi yang diusung jika terpilih sebagai presiden nanti. Bahkan manuver politik, seperti menebar janji-janji manis atau melakukan kontrak politik tak lupa pula dilakukan. Tujuannya tiada lain untuk ”merayu” dan meyakinkan rakyat bahwa dirinya lebih unggul dari kandidat yang lain. Sehingga kesannya tampak lebih ideal jika menjadi presiden.
Saya pikir, rakyat kita juga telah cukup cerdas sebagai warga negara yang sadar akan berpolitik untuk menilai dan memilihnya. Di benak mereka juga mungkin telah ada siapa sebenarnya sosok presiden pilihannya itu. Setidaknya kampanye pilpres yang marak dilakukan selama ini telah membentuk semacam gambaran ideal tentang sosok pemimpin idolanya. Yang jelas, harapannya dapat memberi rasa keadilan dan kemakmuran bagi rakyat.
Nah, pilihannya tersebut pastilah jatuh pada presiden yang mempunyai visi kerakyatan. Tapi persoalannya sekarang, semua kandidat berdalih untuk kepentingan rakyat, dengan versi dan angelnya masing-masing. Semuanya berusaha menarik simpati dengan mengatasnamakan rakyat demi mendulang dukungan. Semua ingin merasa paling dekat dengan rakyat. Simbol-simbol ataupun slogan kedekatan dengan rakyat pun sudah diperlihatkan oleh para capres dan cawapres.
Pasangan JK-Win lebih dulu mengusung slogan “Lebih Cepat Lebih Baik Untuk Kepentingan Rakyat. Kemudian disusul SBY-Boediono dengan slogannya “Bekerja Keras untuk Rakyat”. Dan terakhir pasangan Mega-Pro dengan “Ekonomi Kerakyatannya”. Para kandidat inipun mulai memperlihatkan rasa kedekatannya dengan rakyat. Jusuf Kalla misalnya, mengakrabkan diri bersama rakyat dengan berkunjung ke pasar-pasar. Sedangkan Wiranto, jauh-jauh hari selalu mengedepankan kesengsaraan rakyat dalam kampanyenya di televisi dan surat kabar.
Sedangkan, Boediono naik kereta api—yang juga simbol transportasi masal rakyat—menuju Bandung untuk deklarasi capres-cawapres Partai Demokrat. SBY sendiri pun telah merintis kedekatannya dengan rakyat dengan meluncurkan program Istura (Istana Untuk Rakyat) sejak Mei 2008. Yang lebih menarik lagi pasangan Mega-Pro. Mereka lebih simbolik dengan memilih tempat pembuangan sampah di Bantar Gebang tanggal 24 Mei lalu sebagai tempat pendeklarasian.
Semua hal yang dilakukan capres-cawapres tersebut hanya satu muaranya, yakni ingin menunjukkan dan “memikat” perhatian rakyat agar terpilih menjadi orang nomer satu di negeri ini. Tentunya tanpa rasa suudzon terhadap tekad, visi dan misi yang diusungnya dalam berkompetisi membangun negeri ini. Bukan sekedar “cari muka” dan tebar pesona untuk mencari dukungan rakyat, tetapi setelah terpilih rakyat malah dilupakan.
Maka memilih capres yang bervisi kerakyatan memang sebuah tuntutan dan kebutuhan. Bukan hanya sekedar janji atau slogan, tetapi bukti kongkrit. Lantas bagaimana jika semuanya mengaku untuk kepentingan rakyat?. Yang jelas ketiganya mempunyai versi dan penekanan yang berbeda-beda pada definisi “rakyat”. Mega-Pro berbasis membangun ekonomi kerakyatan dalam pemerintahannya nanti, SBY-Boediono ingin membangun pemerintahan yang bersih untuk rakyat, sedangkan JK-Win basis pemerintahannya ialah ingin bergerak cepat jika menyangkut kepentingan rakyat.
Sekarang tinggal diserahkan kepada rakyat. Rakyat Indonesialah yang memilih dan menentukan, siapa kira-kira pantas menjadi yang terbaik untuk memimpin negeri ini. Yang jelas presiden yang bervisi kerakyatan. Karena rakyat telah memiliki pengertian, pengetahuan dan gambaran “kerakyatan” sendiri sesuai dengan calonnya masing-masing. Sekarang tergantung selara rakyat, presiden dengan visi kerakyatan yang mana?.
Oleh: Raodatul Jannah, Mahasiswa Jurusan Biologi Fakultas Saintek, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar